Perkebunan sawit di samping sebuah sawah di Sumatra Utara
Gaya hidup ramah lingkungan telah saya coba jalani dan sejauh ini, saya menikmatinya. Membawa tas kanvas untuk berbelanja, membawa alat makan sendiri ke tempat kerja, memakai ulang botol plastik air mineral sebagai pot tanaman, dan menjadikan kaus usang sebagai kain pel, misalnya. Bagaimanapun, gaya hidup kita akan berpengaruh pada lingkungan.
Sebisa mungkin saya juga mengikuti isu-isu lingkungan. Salah satunya adalah isu sawit. Jenis palem yang satu ini dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar atas kerusakan hutan, bencana asap, dan berkurangnya biodiversitas. Karena itu, saya pernah merasakan love and hate relationship dengan kelapa
sawit. “Perang dingin” ini saya sulut akhir tahun lalu sehabis membaca profil
Marion Cotillard di majalah Elle
edisi Prancis. Saya mengagumi Marion. Saya suka aktingnya (La Vie en Rose, Inception).
Dia cantik dan dia pun seorang aktivis lingkungan. Di artikel, aktris peraih
Piala Oscar itu bilang, bahwa dia sudah berhenti makan Nutella karena dia mengandung
minyak kelapa sawit.
Kemudian, saya termenung. Mengapa Marion
berhenti makan selai hazelnut (berisi sawit) yang
saya juga sukai itu? Apa yang salah dengan sawit?
Singkat kata, semenjak itu, saya
mengikuti jejak Marion. Saya bertekad membatasi konsumsi sawit. Pertama-tama,
saya mengganti minyak goreng sawit dengan minyak kelapa, margarin (umumnya terbuat dari sawit) dengan mentega (dari lemak hewani, susu).
Jika makan di luar rumah, saya paham bahwa saya tidak imun terhadap minyak
sawit karena semua rumah makan memakainya. Ini membuat saya membatasi gorengan. Saya juga mulai
pilih-pilih makanan kemasan. Semua tulisan bahan (ingredients) saya baca. Jika ada yang tertulis minyak kelapa sawit
atau palm oil, saya mencari alternatifnya.
Langkah ini terbukti berat, sangat
menguji kesabaran. Saya pikir, saya sudah “aman” sampai suatu hari ketika
hendak membeli sabun mandi, saya membaca kemasannya. Nyaris semuanya memakai minyak
kelapa sawit. Bingung karena pilihan saya terbatas, saya pun memutuskan u ntuk mempelajarinya. Ternyata, dia memiliki banyak
sekali produk turunan dan alias: vegetable
oil, vegetable fat, palm kernel, palm fruit oil, palmate, palmitate, palm olein,
glyceryl, stearate, stearic acid, Elaeis guineensis, almitic acid, palm stearine, palmitoyl Oxostearamide, Palmitoyl
Tetrapeptide-3, Sodium Laureth Sulfate, Sodium Lauryl Sulfate, Sodium
Kernelate, Sodium Palm Kernelate, Hydrated Palm Glycerides, Etyl Palmitate,
Octyl Palmitate, Palmityl Alcohol, Laureth-7, Steareth-2, Cetyltrimethylammonium
chloride, Isopropylmyristate, dan Laurylamine
oxide!
Terkejut, saya pun kembali membacai
semua kemasan produk yang saya beli. Dari keripik, biskuit, saus, sabun mandi,
sampo, body lotion, sampai pasta
gigi, semuanya mengandung kelapa sawit! Saya amat terguncang. Betapa sawit
hadir hampir di tiap aspek kehidupan! Luar biasa!
Belum lama ini, saya berkesempatan
berkeliling Sumatra Utara untuk liburan jalan darat, sebelum kebakaran hebat menghitamkan langit Sumatra
(berikut Malaysia dan Singapura). Dari Medan, saya jalan-jalan ke pelosoknya,
yaitu kota-kota kecil yang saya belum pernah dengar namanya, apalagi kunjungi. Perkebunan
sawit adalah pemandangan yang umum. Kanan, kiri, semua kebun sawit. Tak jarang
terlihat tanah lapang yang gundul, tanda dia baru dibuka. Tumpukan bibit sawit
di pinggir jalan membuat siapa pun yang melihatnya menduga, lahan itu akan ditanami
sawit.
Tiba-tiba terjadi kemacetan total di Portibi,
sekitar 500 kilometer dari Medan (jika tidak ada kompleks candi terbesar di
Sumatra Utara, barangkali kota itu tidak “berbunyi” di telinga kita). Saya kemudian
turun dan mencari tahu gerangan penyebabnya. Ternyata, sebuah truk Fuso pengangkut
buah sawit terguling ke sungai. “Bagaimana bisa truk ini terguling, Pak?”
tanyaku pada salah satu pria di kerumunan.
“Jalanan licin, jadi truk tergelincir 30
menit yang lalu,” jawab dia. “Ini sudah dilaporkan ke polisi, [sekarang kita
sedang] tunggu traktor untuk menariknya.”
Pria itu ternyata pengusaha kelapa
sawit. Karena awam soal itu, saya menanyakan banyak hal: dari profil tanaman
sampai kalkulasinya. Dari percakapan itu, saya mendapatkan data, antara lain
bahwa setiap pohon kelapa sawit dapat tumbuh sampai 30 tahun dan mulai berbuah
di tahun ketiga setelah ditanam. Setiap batang pohon dapat menghasilkan 500
kilogram buah per 2 minggu. Setiap bulan dia dapat dipanen 2 kali. Harga per
kilogramnya 1.000 rupiah. “Dulu, harga per [kilogramnya] pernah [mencapai] 2.200
rupiah,” kata pria itu.
Melihat data itu, tidaklah heran jika sawit menjadi komoditas primadona. Sebagai konsekuensinya, banyak lahan pertanian dan hutan dikonversikan menjadi perkebunan sawit.
Saya kemudian bertanya, “Kenapa harganya jatuh?”
Dia menjawab, “Karena semua orang tanam
sawit sekarang.”
Makin penasaranlah saya terhadap sawit. Melalui
studi pustaka, saya mengetahui bahwa sawit berasal dari Afrika. Selama ini saya
mengira sawit adalah tanaman asli Indonesia. Ternyata, dia dibawa ke Indonesia
pada tahun 1800-an, ditanam di Kebun Raya Bogor. Dari situlah dia kemudian
menjadi komoditas. Dia kini ada di mana-mana, seperti “spesies invasif”. Dan di
antara jenis-jenis palem (pikirkan rotan, kelapa, lontar, enau, dan salak),
sawit adalah yang paling rakus menyerap hara dan air.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
sebegitu buruknyakah sawit? Faktanya, sawit sangat rajin berbuah (bandingkan
dengan beras yang hanya bisa dipanen per 3 bulan, misalnya) dan dapat digunakan
untuk pakan, kosmetik, otomotif, dan sebagainya. Harga minyaknya tergolong
murah pula. Sawit tidak banyak memerlukan lahan dibandingkan jika harus
menghasilkan minyak dari komoditas-komoditas lain seperti kacang, kelapa, dan
kedelai. Tidak dapat dimungkiri juga bahwa industri sawit telah membuka
lapangan kerja buat jutaan orang.
Karena itulah, banyak pihak
berlomba-lomba menanamnya. Akibatnya, kita tahu sendiri: deforestasi. Belum lagi
kerusakan-kerusakan yang mengikutinya: kebakaran hutan, kekeringan, banjir, dan
erosi. Tentu saja, pembabatan hutan berarti lepasnya karbondioksida dalam
jumlah besar ke atmosfer. Ini berarti pemanasan global.
Selain itu, pasti setiap dari kita
pernah membaca tentang sengketa lahan sawit yang mengakibatkan penyerangan (dan
mungkin bentrokan) yang berujung pada korban, bahkan korban jiwa. Tak terhitung
pula adanya “sengketa” antara manusia dan spesies lainnya, seperti gajah,
harimau, dan orang utan, akibat pembabatan hutan demi perkebunan sawit. Hilangnya
habitat telah membahayakan biodiversitas. Misalnya, data WWF menyebutkan bahwa
pada 1990 tercatat ada 315.000 individu orang utan. Kini, jumlahnya hanya
50.000 individu. Tentu saja, sawit bukan satu-satunya penyebab deforestasi,
namun perlu diingat bahwa Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia.
Lantas, adakah jalan keluar? Teringatlah
saya pada sertifikasi kayu. Beberapa tahun silam, konsumen di Eropa telah
berhasil mengikrarkan manifesto mereka: hanya mau membeli produk dari kayu
(kertas, perkakas dapur, furnitur) hanya jika kayu tersebut memiliki sertifikat
berkelanjutan. Inisiatif ini telah memicu tren global yang berhasil “memaksa”
produsen kayu untuk berproduksi secara berkelanjutan. Jika pada kayu ini dapat
berhasil, mengapa tidak dengan sawit?
Sawit berkelanjutan alias certified sustainable palm oil (CSPO). Terdengar
menarik, bukan? CSPO dihasilkan oleh produsen-produsen sawit yang telah diaudit
menerapkan standar-standar yang ditetapkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sebagai konsumen, kita dapat mendesak,
jika bukan mendorong, produsen untuk menanam sawit dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan. Dengan hanya membeli yang baik, yaitu produk-produk
yang berisi hanya CSPO, produsen sawit yang belum memenuhi standar RSPO akan
mau tidak mau ikut. Semoga!