Jumat, 16 Oktober 2015

“Sawit: Antara Cinta, Benci, dan Solusi"

Perkebunan sawit di samping sebuah sawah di Sumatra Utara



Gaya hidup ramah lingkungan telah saya coba jalani dan sejauh ini, saya menikmatinya. Membawa tas kanvas untuk berbelanja, membawa alat makan sendiri ke tempat kerja, memakai ulang botol plastik air mineral sebagai pot tanaman, dan menjadikan kaus usang sebagai kain pel, misalnya. Bagaimanapun, gaya hidup kita akan berpengaruh pada lingkungan.

Sebisa mungkin saya juga mengikuti isu-isu lingkungan. Salah satunya adalah isu sawit. Jenis palem yang satu ini dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar atas kerusakan hutan, bencana asap, dan berkurangnya biodiversitas. Karena itu, saya pernah merasakan love and hate relationship dengan kelapa sawit. “Perang dingin” ini saya sulut akhir tahun lalu sehabis membaca profil Marion Cotillard di majalah Elle edisi Prancis. Saya mengagumi Marion. Saya suka aktingnya (La Vie en Rose, Inception). Dia cantik dan dia pun seorang aktivis lingkungan. Di artikel, aktris peraih Piala Oscar itu bilang, bahwa dia sudah berhenti makan Nutella karena dia mengandung minyak kelapa sawit. 

Kemudian, saya termenung. Mengapa Marion berhenti makan selai hazelnut (berisi sawit) yang saya juga sukai itu? Apa yang salah dengan sawit?

Singkat kata, semenjak itu, saya mengikuti jejak Marion. Saya bertekad membatasi konsumsi sawit. Pertama-tama, saya mengganti minyak goreng sawit dengan minyak kelapa, margarin (umumnya terbuat dari sawit) dengan mentega (dari lemak hewani, susu). Jika makan di luar rumah, saya paham bahwa saya tidak imun terhadap minyak sawit karena semua rumah makan memakainya. Ini membuat saya membatasi gorengan. Saya juga mulai pilih-pilih makanan kemasan. Semua tulisan bahan (ingredients) saya baca. Jika ada yang tertulis minyak kelapa sawit atau palm oil, saya mencari alternatifnya.

Langkah ini terbukti berat, sangat menguji kesabaran. Saya pikir, saya sudah “aman” sampai suatu hari ketika hendak membeli sabun mandi, saya membaca kemasannya. Nyaris semuanya memakai minyak kelapa sawit. Bingung karena pilihan saya terbatas, saya pun memutuskan u ntuk mempelajarinya. Ternyata, dia memiliki banyak sekali produk turunan dan alias: vegetable oil, vegetable fat, palm kernel, palm fruit oil, palmate, palmitate, palm olein, glyceryl, stearate, stearic acid, Elaeis guineensis, almitic acid, palm stearine, palmitoyl Oxostearamide, Palmitoyl Tetrapeptide-3, Sodium Laureth Sulfate, Sodium Lauryl Sulfate, Sodium Kernelate, Sodium Palm Kernelate, Hydrated Palm Glycerides, Etyl Palmitate, Octyl Palmitate, Palmityl Alcohol, Laureth-7, Steareth-2,  Cetyltrimethylammonium chloride, Isopropylmyristate, dan Laurylamine oxide!

Terkejut, saya pun kembali membacai semua kemasan produk yang saya beli. Dari keripik, biskuit, saus, sabun mandi, sampo, body lotion, sampai pasta gigi, semuanya mengandung kelapa sawit! Saya amat terguncang. Betapa sawit hadir hampir di tiap aspek kehidupan! Luar biasa!

Belum lama ini, saya berkesempatan berkeliling Sumatra Utara untuk liburan jalan darat, sebelum kebakaran hebat menghitamkan langit Sumatra (berikut Malaysia dan Singapura). Dari Medan, saya jalan-jalan ke pelosoknya, yaitu kota-kota kecil yang saya belum pernah dengar namanya, apalagi kunjungi. Perkebunan sawit adalah pemandangan yang umum. Kanan, kiri, semua kebun sawit. Tak jarang terlihat tanah lapang yang gundul, tanda dia baru dibuka. Tumpukan bibit sawit di pinggir jalan membuat siapa pun yang melihatnya menduga, lahan itu akan ditanami sawit.

Tiba-tiba terjadi kemacetan total di Portibi, sekitar 500 kilometer dari Medan (jika tidak ada kompleks candi terbesar di Sumatra Utara, barangkali kota itu tidak “berbunyi” di telinga kita). Saya kemudian turun dan mencari tahu gerangan penyebabnya. Ternyata, sebuah truk Fuso pengangkut buah sawit terguling ke sungai. “Bagaimana bisa truk ini terguling, Pak?” tanyaku pada salah satu pria di kerumunan.

“Jalanan licin, jadi truk tergelincir 30 menit yang lalu,” jawab dia. “Ini sudah dilaporkan ke polisi, [sekarang kita sedang] tunggu traktor untuk menariknya.”

Pria itu ternyata pengusaha kelapa sawit. Karena awam soal itu, saya menanyakan banyak hal: dari profil tanaman sampai kalkulasinya. Dari percakapan itu, saya mendapatkan data, antara lain bahwa setiap pohon kelapa sawit dapat tumbuh sampai 30 tahun dan mulai berbuah di tahun ketiga setelah ditanam. Setiap batang pohon dapat menghasilkan 500 kilogram buah per 2 minggu. Setiap bulan dia dapat dipanen 2 kali. Harga per kilogramnya 1.000 rupiah. “Dulu, harga per [kilogramnya] pernah [mencapai] 2.200 rupiah,” kata pria itu.

Melihat data itu, tidaklah heran jika sawit menjadi komoditas primadona. Sebagai konsekuensinya, banyak lahan pertanian dan hutan dikonversikan menjadi perkebunan sawit.

Saya kemudian bertanya, “Kenapa harganya jatuh?”

Dia menjawab, “Karena semua orang tanam sawit sekarang.”

Makin penasaranlah saya terhadap sawit. Melalui studi pustaka, saya mengetahui bahwa sawit berasal dari Afrika. Selama ini saya mengira sawit adalah tanaman asli Indonesia. Ternyata, dia dibawa ke Indonesia pada tahun 1800-an, ditanam di Kebun Raya Bogor. Dari situlah dia kemudian menjadi komoditas. Dia kini ada di mana-mana, seperti “spesies invasif”. Dan di antara jenis-jenis palem (pikirkan rotan, kelapa, lontar, enau, dan salak), sawit adalah yang paling rakus menyerap hara dan air.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: sebegitu buruknyakah sawit? Faktanya, sawit sangat rajin berbuah (bandingkan dengan beras yang hanya bisa dipanen per 3 bulan, misalnya) dan dapat digunakan untuk pakan, kosmetik, otomotif, dan sebagainya. Harga minyaknya tergolong murah pula. Sawit tidak banyak memerlukan lahan dibandingkan jika harus menghasilkan minyak dari komoditas-komoditas lain seperti kacang, kelapa, dan kedelai. Tidak dapat dimungkiri juga bahwa industri sawit telah membuka lapangan kerja buat jutaan orang.

Karena itulah, banyak pihak berlomba-lomba menanamnya. Akibatnya, kita tahu sendiri: deforestasi. Belum lagi kerusakan-kerusakan yang mengikutinya: kebakaran hutan, kekeringan, banjir, dan erosi. Tentu saja, pembabatan hutan berarti lepasnya karbondioksida dalam jumlah besar ke atmosfer. Ini berarti pemanasan global.

Selain itu, pasti setiap dari kita pernah membaca tentang sengketa lahan sawit yang mengakibatkan penyerangan (dan mungkin bentrokan) yang berujung pada korban, bahkan korban jiwa. Tak terhitung pula adanya “sengketa” antara manusia dan spesies lainnya, seperti gajah, harimau, dan orang utan, akibat pembabatan hutan demi perkebunan sawit. Hilangnya habitat telah membahayakan biodiversitas. Misalnya, data WWF menyebutkan bahwa pada 1990 tercatat ada 315.000 individu orang utan. Kini, jumlahnya hanya 50.000 individu. Tentu saja, sawit bukan satu-satunya penyebab deforestasi, namun perlu diingat bahwa Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia.

Lantas, adakah jalan keluar? Teringatlah saya pada sertifikasi kayu. Beberapa tahun silam, konsumen di Eropa telah berhasil mengikrarkan manifesto mereka: hanya mau membeli produk dari kayu (kertas, perkakas dapur, furnitur) hanya jika kayu tersebut memiliki sertifikat berkelanjutan. Inisiatif ini telah memicu tren global yang berhasil “memaksa” produsen kayu untuk berproduksi secara berkelanjutan. Jika pada kayu ini dapat berhasil, mengapa tidak dengan sawit?

Sawit berkelanjutan alias certified sustainable palm oil (CSPO). Terdengar menarik, bukan? CSPO dihasilkan oleh produsen-produsen sawit yang telah diaudit menerapkan standar-standar yang ditetapkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). 

Sebagai konsumen, kita dapat mendesak, jika bukan mendorong, produsen untuk menanam sawit dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan hanya membeli yang baik, yaitu produk-produk yang berisi hanya CSPO, produsen sawit yang belum memenuhi standar RSPO akan mau tidak mau ikut. Semoga!