Deep river Lord, I want to cross
over into campground
(Deep River, a spiritualsong)
I'm in a sentimental mode. i was touched by this article (daily Kompas, also online today). how could springs cease to flow?
i have a brother by the river.
Mata Air Brantas Mati
Jumat, 24 Juli 2009 | 04:00 WIBDirektur Lembaga Swadaya Masyarakat Ecoton Prigi, Arisandi, di Kediri, Kamis (23/7), menyebutkan, dari 111 sumber mata air Sungai Brantas, saat ini tinggal 50 sumber mata air. ”Data itu kami dapatkan dari hasil penelitian tahun 1998. Kondisi saat ini semakin parah. Kami perkirakan sumber mata air yang mati jumlahnya semakin banyak,” katanya di sela-sela acara sosialisasi lingkungan kepada pelajar di Kediri.
Prigi mengatakan, sumber mata air Sungai Brantas berasal dari Gunung Kelud di Kediri, Gunung Wilis, Gunung Welirang, Gunung Arjuna, dan Gunung Liman di Nganjuk. Sumber-sumber mata air itu mengering seiring maraknya perusakan hutan dan pengalihan fungsi kawasan konservasi menjadi lahan pertanian.
Sebagai contoh, hampir di seluruh lereng Gunung Wilis di wilayah Kabupaten Kediri, Tulungagung, dan Nganjuk saat ini telah berubah dari hutan menjadi lahan pertanian produktif dengan tanaman utama jagung, ketela, dan sayur-sayuran. Tanaman hutan produksi, seperti jati dan pinus, habis dijarah.
”Jika terus dibiarkan, tak menutup kemungkinan Sungai Brantas mengering 15 tahun ke depan. Padahal, kita tahu, Sungai Brantas adalah urat nadi kehidupan 60 persen lebih masyarakat di Jawa Timur,” ujarnya.
Air Sungai Brantas tak hanya digunakan sebagai sumber air perusahaan daerah air minum, tetapi juga sumber pengairan lahan pertanian di Malang, Blitar, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, serta sumber air bagi sejumlah industri manufaktur.
Kerusakan Sungai Brantas diperparah dengan adanya pembuangan limbah cair dari rumah tangga dan industri serta penambangan pasir besar-besaran.
Tinggi muka air Waduk Bade di Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada musim kemarau ini juga menurun drastis hingga mendekati ambang batas minimum. Elevasi waduk turun dari 239,50 meter di atas permukaan laut (dpl) menjadi 237,42 meter dpl. Akibatnya, aliran air untuk ribuan hektar sawah terpaksa dibatasi.
Para petani di Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terpaksa mengandalkan saluran drainase warga untuk mengairi sawah dan kebun mereka. Padahal, air yang mereka gunakan tercemar berat limbah pabrik.
Musim kemarau sekarang ini juga menyebabkan produksi melati di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, turun karena stok air pada musim kemarau tidak memadai. Penurunan produksi juga mengakibatkan melonjaknya harga melati dari Rp 10.000 menjadi Rp 19.000 per kilogram.
Ahmad (70), petani melati di Desa Slamaran, Kecamatan Pekalongan Utara, Kamis, menyatakan, penurunan produksi melati terjadi sejak satu bulan lalu. Sebelumnya, dari lahan seluas 2.000 meter persegi ia bisa memperoleh sekitar dua kilogram melati per hari. Saat ini hanya 1-2 ons melati per hari. Anjloknya produksi juga membuat pasokan ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Pekalongan turun.
Juri (65), petani melati lain, mengatakan, penurunan produksi melati terjadi karena tanaman kekurangan air. Selama ini, tanaman melati hanya mengandalkan air hujan dan air saluran irigasi kecil, yang berada di pinggir lahan itu. ”Daun kering dan rontok,” ujarnya. Menurut Juri, penurunan produksi melati juga disebabkan serangga ulat.
Pada musim kemarau ini, sawah seluas 173 hektar di Desa Pilangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, juga dibiarkan telantar oleh petani karena tak ada air untuk mengolahnya. Di Jabar, 193 hektar tanaman dilanda kekeringan.